Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari asisten virtual yang membantu mengatur jadwal hingga algoritma yang merekomendasikan film favorit, AI telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia. Namun, di balik kemajuan yang mengesankan ini, muncul pertanyaan penting mengenai dampak AI terhadap planet dan masyarakat.
Bayangkan sebuah dunia di mana AI digunakan untuk mengoptimalkan penggunaan energi, mengurangi emisi karbon, dan mengembangkan solusi inovatif untuk mengatasi perubahan iklim. Ini adalah visi yang ditawarkan oleh Sustainable AI, sebuah gerakan yang semakin mendapatkan perhatian dalam dunia teknologi.
Namun, realitanya jauh lebih kompleks. Saat ini, pelatihan model AI besar, yang membutuhkan komputasi intensif, dapat menghasilkan emisi karbon yang setara dengan penerbangan tahunan rata-rata orang.
Penelitian menunjukkan bahwa produksi hardware AI dan data pelatihannya seringkali melibatkan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di negara berkembang. Algoritma AI juga rentan terhadap bias, yang dapat memperburuk diskriminasi dan ketidakadilan sosial.
Contohnya, sebuah perusahaan teknologi mengembangkan algoritma yang digunakan untuk memproses aplikasi pinjaman. Algoritma ini dilatih dengan data historis yang mencerminkan bias gender dan rasial dalam sistem keuangan. Akibatnya, algoritma ini cenderung menolak aplikasi pinjaman dari perempuan dan minoritas, memperkuat kesenjangan ekonomi yang sudah ada.
Sustainable AI hadir sebagai solusi untuk tantangan ini. Gerakan ini menekankan perlunya mengembangkan dan menerapkan AI secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Sustainable AI atau AI berkelanjutan
Sustainable AI, atau AI Berkelanjutan, muncul sebagai jawaban atas tantangan ini. Gerakan ini menekankan perlunya mengembangkan dan menerapkan AI secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Sustainable AI sendiri memiliki beberapa landasan, diantaranya:
Dampak Lingkungan AI: Sebuah Perhatian yang Semakin Menggema
Salah satu landasan utama Sustainable AI adalah keprihatinan terhadap dampak lingkungan AI yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa pelatihan model AI besar, yang membutuhkan komputasi intensif, dapat menghasilkan emisi karbon yang setara dengan penerbangan tahunan rata-rata orang.
Salah satu studi yang menonjol dilakukan oleh Strubell (2019) yang menemukan bahwa pelatihan model AI besar dapat menghasilkan emisi karbon yang signifikan. Emma Strubell, salah satu penulis studi tersebut, menekankan perlunya mengurangi jejak karbon AI melalui efisiensi energi, penggunaan sumber daya komputasi yang lebih berkelanjutan, dan pengembangan algoritma yang lebih ringan.
Andrew Ng, seorang pionir dalam bidang AI, juga menyoroti pentingnya mengoptimalkan penggunaan energi dalam pelatihan AI. Ia menekankan perlunya inovasi dalam algoritma dan infrastruktur komputasi untuk mengurangi konsumsi energi AI.
Timnit Gebru, seorang ilmuwan AI yang dikenal dengan kritiknya terhadap bias dalam AI, juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pengembangan AI. Ia menekankan perlunya melibatkan para ilmuwan lingkungan dalam proses pengembangan AI untuk memastikan keberlanjutannya.
Eksploitasi Sumber Daya: Mencari Keadilan dalam Rantai Pasokan AI
Selain dampak lingkungan, Sustainable AI juga menitikberatkan pada pentingnya keadilan dan keberlanjutan dalam rantai pasokan AI. Studi oleh Kate Crawford dan Meredith Whittaker menunjukkan bahwa produksi hardware AI dan data pelatihannya seringkali melibatkan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di negara berkembang.
Crawford, seorang peneliti di AI Now Institute, menekankan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasokan AI. Ia mendorong perusahaan teknologi untuk mengungkapkan sumber daya yang digunakan dalam produksi hardware AI dan memastikan bahwa pekerja dalam rantai pasokan tersebut diperlakukan secara adil.
Whittaker, seorang aktivis AI dan peneliti di AI Now Institute, juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dari AI. Ia menekankan perlunya memastikan bahwa AI tidak memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi.
Joy Buolamwini, seorang aktivis AI dan pendiri Algorithmic Justice League, menyoroti bagaimana bias dalam algoritma AI dapat memperburuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Ia mendorong pengembangan AI yang adil dan inklusif, yang mempertimbangkan kebutuhan semua orang.
Menciptakan Kerangka Etika AI yang Berkelanjutan
Sustainable AI mendorong pengembangan kerangka kerja etika AI yang mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan, baik lingkungan maupun sosial. Para ilmuwan seperti Aimee van Wynsberghe, Hanna Krasnova, dan Toby Walsh menekankan pentingnya mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengembangan dan penerapan AI.
Van Wynsberghe, seorang peneliti di bidang AI dan keberlanjutan, menekankan perlunya mempertimbangkan siklus hidup AI, mulai dari produksi hardware hingga pembuangan akhir, dalam penilaian dampaknya terhadap keberlanjutan.
Krasnova, seorang peneliti di bidang etika AI, menyoroti pentingnya melibatkan pemangku kepentingan yang beragam dalam pengembangan kerangka kerja etika AI, termasuk ilmuwan, praktisi, dan masyarakat sipil.
Walsh, seorang pakar AI dan etika, menekankan perlunya membangun sistem pengawasan dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa AI digunakan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pendekatan Struktural: Mengatasi Akar Masalah
Sustainable AI juga mendorong pendekatan struktural dalam etika AI, yang melihat masalah etika AI sebagai hasil dari struktur sosial dan ekonomi yang mendasari. Larissa Bolte, Nick Bostrom, dan Luciano Floridi menekankan perlunya memahami dan mengatasi akar masalah ketidakadilan dan eksploitasi yang mendasari pengembangan dan penerapan AI.
Bolte, seorang peneliti di Sustainable AI Lab, menyoroti pentingnya mempertimbangkan distribusi kekuasaan dan sumber daya dalam pengembangan AI. Ia mendorong pengembangan AI yang demokratis dan inklusif, yang mempertimbangkan kebutuhan semua orang.
Bostrom, seorang filsuf AI dan direktur Future of Humanity Institute, menekankan perlunya mempertimbangkan risiko jangka panjang dari AI yang tidak terkendali. Ia mendorong pengembangan AI yang aman dan bermanfaat bagi umat manusia.
Floridi, seorang filsuf AI dan profesor di University of Oxford, menyoroti pentingnya mengembangkan konsep “filosofi AI” yang mempertimbangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang mendasari pengembangan AI.
Kesimpulan
Sustainable AI menandai pergeseran penting dalam diskusi etika AI, yang berfokus pada dampak lingkungan dan sosial dari teknologi ini.
Bukan sekadar penerapan etika AI pada konteks lingkungan, Sustainable AI menuntut pendekatan struktural yang lebih holistik untuk mengungkap isu-isu etika pada skala yang lebih luas.
Pendekatan ini harus mempertimbangkan struktur kekuasaan yang dapat menghalangi pengungkapan isu-isu tersebut.
Sustainable AI menekankan pentingnya menyeimbangkan tujuan AI dengan keberlanjutan, memastikan bahwa pengembangan dan penerapannya tidak mengorbankan planet dan masyarakat.